Kamis, 23 Juli 2009

KALAH MENANG, SIKAP SPORTIF YANG POSITIF

Masalah kalah - menang sudah ada sejak manusia diciptakan Alloh. Begitu pun, kita telah mengenal sejak masih usia dini. Namun, persiapan untuk menerima kekalahan atau kemenangan denagan lapang dada harus dipersiapkan orang tua sejak awal.
Kalah menang adalah hal biasa, namun juga bisa menjadi tidak biasa manakala sampai menimbulkan pengaruh pada kejiwaan sesorang. Dalam suatu pertandingan membedakan kedua hal tersebut menjadi terlihat jelas.. Namun, bagaimana dalam kehidupan sehari- hari yang tak terlepas dari persoalan kalah atau menang?ambil contoh, saat bersaing menjadi "juara" di kelas. Atau saat anak bermain dengan saudaranya atau teman - temannya. Bagaimana orang tua menyiapkan anak agar bisa menerima "kalah menang" dengan hati yang lapang?
"Sebenarnya istilah kalah - menang buka melulu disuatu pertandingan. Karena itu banyak orang tua pada masa sekarang ini melibatkan anaknya untuk belajar "kalah - menang" bukan disatu pertandingan, melainkan banyak memberi kesempatan untuk bermain dengan teman sebayanya ,"ujar Dra. M.Psi, staff pengajar diBagian psikologi, Universitas Indonesia.
"Hal ini dapat dimengerti karena banyak ahli berpendapat bahwa salah satu kendala jika anak anak terbiasa bermain dengan anak dewasa atau anak yang jauh lebih besar, anak cenderung "dibiarkan" untuk menang walaupun sebetulnya tidak. Jika dia bermain dengan anak yang lebih kecil, ia akan juga selalu menang. Hal ini membuat anak percaya bahwa perminan akan berakhir dengan suatu yang menyenangkan (happy ending) bagi dirinya."
Sesuatu yang menyenangkan ini dapat menjadi suatu yan membahayakan, khususnya dalam perkembangan diri dan penyesuaian sosialnya."Jika anak terbiasa menang dalam suatu permainan, unggul dalam segala hal(khusunya dihadapan orang dewasa), ia percaya bahwa dirinya adalah yang 'ter...'. Keadaan akan berbahaya jika kelak bermain dengan teman sebayanya, karena kemungkinan besar ia akan mengalami situasi yang selamai ini tidak pernah dialaminya. Misalnya anak kalah karena diantara teman sebayanya ia bukanlah yang 'ter.......'."
Tidak terbiasa anak berhadapan dengan situasi kegagalan, membuat toleransi anak pada kegagalan amatlah kecil. Jika anak terbiasa mengadaikan dirinya sebagai "sang juara" didalam impiannya, akibatnya ia akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri.
Puji menilai orang tua di masa sekarang ini 'beruntung' cukup menyadari keadaan tersebut dan tak ingin anak - anak mereka terjerumus dalam sikap jagoan. Salah satu cara adalah dengan mengikutertakan anak - anak dalam kegiatan yang melibatkan anak lain seusianya. Kegiatan bermain bersama adalah salah satu diantaraya, selain memasukan anak ke pra-sekolah sesuai dengan usianya.
TIGA TAHAPAN SOSIAL
Benarkah bila anak - anak sudah mengenal arti kalah - menang sejak usia dini akan bersikap 'positif' dalam segala hal? Pada usia berapa mereka mulai bisa mengerti?
Untuk mulai menjawab pertanyaan tersebut, Puji mengingatkan bahwa orang tua perlu tahu bagaimana perkembangan sosial anak yang dapat dilihat dri aktivitas bermain. "Hasil pengamatan Mildred Parten (1932, dalam Berk, 2000) menunjukan bahwa perkembangan ssosial untuk ditunjukan melalui tiga tahapan. Diawali dengan aktivitas non-sosial, pada saat anak cenderung bermain sendiri (soliter). Denga berjalannya waktu lama kelamaan partisipasi sosial sudah mulai nampak, meskipun tidak terlalu dominan, yaitu dalam paralel play (bermain secara paralel). Artinya, Beberapa anak kecil duduk bersama - sama, namun masing - masing bermain 'sendiri' dan tidak ada keinginan untuk saling mempengaruhi."
Selanjutnya, pada saaat anak masuk usia pra-sekolah, interaksi sosialnya melibatkan Associative play (bermain kooperatif). Dalam bermain asosiatif anak - anak berinteraksi denga saling tukar mainannya. Sedangkan dalam bermain kooperatif, macam - macam interaksi yang dilakukan sudah lebih tinggi yang umumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu, misalnya kerja sama untuk membangun atau membuat suatu hal.
"Dari tahapan - tahapan tersebut dapat dilihat bagaimana peranan interaksi sosial yang terjadi. Sementara itu pada usia selanjutnya, yakni usia SD ketika teman sebayanya sudah cukup besar pengaruhnya, aktivitas bermainpun sudah lebih bervariasi," Lanjut Puji.
Berdasarkan uraian tentang tahapan bermain pada usia pra-sekolah, ia mulai melihat anak bisa mulai belajar 'kalah menang' adalah pada saat anak mulai bermain kooperatif dengan temannya." Itulah sebabnya umumnya pada saat anak memasuki pendidikan TK mengumpulkan makanan yang dibawanya dari rumah dimeja guru, kemudian makanan dimakan bersama, sehingga anak mencoba makan yang dibawa temannya. Selain itu, pada saat pelajaran menggambar, anak perlu berbagi pensil warna bersama temanya, dan lain sebagainya."
Masih contoh lain berkaitan denag aturan yang perlu ditanamkan pada anak - anak TK. Seperti antri sewaktu mencuci tangan, atau penggunaan alat bermain secara bergantian. Semua cara tersebut secara tidak langsung juga mengajarkan anak untuk tidak selalu berada pada posisi paling depan, atau sebagai pemenang karena selau mendapat lebih awal, atau apa yang diinginkan selalu tecapai.
Contoh- contoh tersebut sekaligus menunjukan bahwa istilah "kalah menang" tidak hanya dipelajari di saat lomba, tetapi juga pada saat berinteraksi dengan teman (bermain) atau pada saat kegiatannya. Hanya Saja,"tidak selau anak usia pra-sekolah hingga SD sudah bisa mulai belajar akan hal ini. Semua kembali pada peran orang tua dalam menanamkan nilai - nilai demikian. Orang tua dominan, dan menginginkan anaknya selau juara dalam berbagai hal, tentu saja tidak akan rela jika mendapati anaknya kalah dengan orang lain. Sikap orang tua seperti ini tanpa disadarinya sebetulnya akan membebani anak. Anak akan selalu dituntut untuk mencapai apa yang telah ditanamkan orang tua."
Orang tua demikian harus sadar bahwa ketidakpuasan yang ditunjukan karena anaknya mengalami kekalahan menunujukan bahwa orang tua tidak menghargai usaha yang telah dilakukan anak."Sikap orang tua Yang mungkin menyalahkan pihak lawanya, akan membuat anak tidak belajar untuk bersikap sportif. Akibatnya anak akan terbiasa menyalahkan lingkungan dan tidak pernah intropeksi diri untuk mencari sebab musabab ' mengaa saya bisa gagal kali ini',' mengapa tema saya bisa mengalahkan saya',atau' apa yang salah pada diri saya."
Lalu, apa yang dilakukan orang tua bila terlanjur bersikap menuntut pada anaknya? Puji Lestari berharap orang tua akan membuka diri tentang orang yang memiliki wewenang pada anak, misalnya pelatih atau guru yang biasa mendampingi anak atau tahu betul bagaimana kapasitas anak. "Mereka dapat memberi masukan mangapa anak bisa kalah dan apa yang harus dilakukan. Dengan demikian diharapkan orang tua dapat dapat lebih menerima. Dan itu akan lebih baik daripada yang memberi masukan adalah orang lain yang tidak mengenal anak itu."
Jelaslah peranan orang tua dalam menjadikan anak - anaknya untuk dapat bersikap sportif atau tidak. Bagaimana dengan anda?
KIAT - KIAT AGAR ANAK BERSIKAP SPORTIF
1. Kesempatan untuk bersosialisasi denga teman sebaya merupakan cara tepat untuk melatih anak dalam menerima kehadiran orang lain yang berbeda dari dirinya.
2Belajar berbagi bisa di mulai dari hal kecil, misalnya kalau anak punya permen, bagilah pada teman sebayanya atau saudaranya.
3. Belajar bekerja sama
4. Terlibat dalam permainan kelompok
5.Orang tua sebaiknya tidak selau menuntut anak untuk selalu "menang" atau tidak selalu "memenangkannya".
6. Bangkitkan semangat anak bila berada dalam situasi "kalah" atau berikan alasan mengapa kakak / adik pada saat ini harus mengalah.
7. Kalah - menang tidak dilihat dari fisik atau usia (kakak tidak selalu "menang"), tetapi lebih dilihat dari usaha yang berhak "menang" oleh karena itu tidak harus ada perbedaan antara kakak - adik dalam mengatasi kalah - menang, misalnya kakak harus selalu menang atau mengalah pada adik. Karena hal ini akan membuat salah satu dari mereka tidak belajar sportif.

Selasa, 21 Juli 2009

potpoury

sorga dunia bagi pecinta dunia